Industry Trends    15 May 2020

Rawan Terjebak Tone Deaf, Siasati Konten Promosi Kala Pandemi

Share Article:
 
Pelaku brand khususnya para tim pemasaran dituntut untuk mempertahankan bisnis sekaligus reputasi dalam kondisi apapun termasuk saat keadaan darurat global. Layaknya aktivitas pemasaran, penyampaian konten dan pesan bertujuan untuk menarik perhatian konsumen. Tak terkecuali pada kondisi pandemi saat ini, membangun kesadaran terhadap brand di tengah periode isolasi menjadi tantangan tersendiri bagi para pemasar.
 

Pada awal Maret lalu misalnya, maskapai penerbangan asal Amerika Serikat Southwest menawarkan potongan harga penerbangan di tengah periode isolasi pandemi.

 
Alih-alih meningkatkan penjualan produk atau jasa, taktik tersebut secara implisit justru memberi kesan apatis dan kurang sensitif terhadap krisis COVID-19 yang tengah melanda. Di saat seluruh masyarakat dunia direkomendasikan untuk tetap di rumah demi melandaikan kurva pandemi, konten promosi itu memancing pertanyaan mengenai kepekaan brand dalam melihat situasi.
 

Kendati penjualan dirasa penting, namun perubahan drastis pada rutinitas harian masyarakat patut dipertimbangkan oleh para pemasar. Kondisi ini telah memberi dampak bagi konsumen baik secara fisik dan mental akibat COVID-19. Secara fisik, masyarakat sedang membatasi kegiatan di luar rumah untuk mendukung langkahsocial distancing. Di Indonesia sendiri, hingga pertengahan April telah terdapat 18 daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di saat yang bersamaan, secara mental masyarakat tengah berada dalam kekhawatiran bahwa merebaknya virus semakin mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Untuk itu, idealnya para pemasar dapat memahami situasi dengan memberikan pengalaman baru bagi konsumen melalui variasi eksekusi agar publik merasakan sesuatu yang berbeda dan mencegah aktivitas pemasaran terjebak pada konten tone deaf.

Sesuai dengan sebutannya, tone deaf mengasosiasikan pesan yang kurang mengandung sensitivitas terhadap situasi yang sedang terjadi. Penyesuaian pesan akan memastikan konten yang dipaparkan kepada publik tetap relevan. Sehingga para pemasar juga perlu didukung oleh para pelaku komunikasi untuk turut menganalisa potensi penerimaan konsumen terhadap konten marketing yang akan dihadirkan.

Berkaca pada survei daring oleh Element-R asal Amerika Serikat yang dilakukan pada Maret 2020, respon mengenai pemasaran konvensional atau business-as-usual melalui telepon dan email pribadi justru mendapatkan reaksi yang kurang baik dari konsumen. Pasalnya, 29 persen responden menjawab upaya tersebut terbilang sangat membosankan dan 32 persen lainnya menjawab membosankan. Hal ini menunjukkan urgensi pemasar untuk memperhatikan potensi penerimaan konsumen terhadap konten marketing yang bisa terjebak pada tone-deafness.

Maka dari itu, brand perlu berhati-hati atas pesan yang disampaikan kepada publik. Alih-alih diharapkan mendatangkan manfaat bagi bisnis untuk bertahan, aktivitas pemasaran lewat konten yang tone-deaf justru berpotensi mendekatkan konsumen pada titik kejenuhan karena konten yang kurang relevan dan sensitif terhadap situasi pandemi. Jebakan ini kerap terjadi saat brand berada pada dilema untuk meningkatkan penjualan di tengah situasi yang penuh ketidakpastian. Bila hal ini terus diterapkan, maka konten-konten tone-deaf tersebut akan menjadi bumerang yang justru mengancam keberadaan brand.

 

Ditulis oleh: Bela Dienna

Every business owner surely has a rule of thumb when doing their daily operational business. Yet, having a go-to plan is not always work, especially when you are facing a great storm. As public relations agency, we are keen to promote flexible partnership with our clients as we are for sure understand how tough it is to build and sustain the ship. While you are enjoying our write-up, do let us know should you need further discussion on how to rejuvenate the communications strategy when the rainbow comes at last.